Selasa, 28 Desember 2010

Etika Bisnis Dalam Islam

Etika Bisnis Dalam Islam

Bab I Pendahuluan

Latar Belakang

Kegagalan yang paling terasa dari modernisasi yang merupakan akibat langsung dari era globalisasi adalah dalam bidang ekonomi. Kapitalisme modern yang walaupun akhirnya mampu membuktikan kelebihannya dari sosialisme, kenyataannya justru melahirkan berbagai persoalan, terutama bagi negara-negara Dunia Ketiga (termasuk negara-negara Muslim) yang cenderung menjadi obyek daripada menjadi subyek kapitalisme.

Dikaitkan dengan kegagalan kapitalisme Barat di negara-negara Muslim tersebut, kesadaran bahwa akar kapitalisme bukanlah dari Islam kemudian membangkitkan keinginan untuk merekonstruksi sistem ekonomi yang dianggap “otentik” berasal dari Islam. Apalagi sejarah memperlihatkan bahwa pemikiran ekonomi, telah pula dilakukan oleh para ulama Islam, bahkan jauh sebelum Adam Smith menulis buku monumentalnya The Wealth of Nations.[1] Di samping itu, Iklim perdagangan yang akrab dengan munculnya Islam, telah menempatkan beberapa tokoh dalam sejarah sebagai pedagang yang berhasil. Keberhasilan tersebut ditunjang oleh kemampuan skill maupun akumulasi modal yang dikembangkan. Dalam pengertiannya yang sangat umum, maka bisa dikatakan bahwa dunia kapitalis sudah begitu akrab dengan ajaran Islam maupun para tokohnya. Kondisi tersebut mendapatkan legitimasi ayat al-Qur’an maupun sunnah dalam mengumpulkan harta dari sebuah usaha secara maksimal.[2]

Dengan banyaknya ayat al-Qur’an dan Hadis yang memberi pengajaran cara bisnis yang benar dan praktek bisnis yang salah bahkan menyangkut hal-hal yang sangat kecil, pada dasarnya kedudukan bisnis dan perdagangan dalam Islam sangat penting. Prinsip-prinsip dasar dalam perdagangan tersebut dijadikan referensi utama dalam pembahasan-pembahasan kegiatan ekonomi lainnya dalam Islam sebagai mana pada mekanisme kontrak dan perjanjian baru yang berkaitan dengan negara non-muslim yang tunduk pada hukum perjanjian barat.[3]

Pada dasarnya etika (nilai-nilai dasar) dalam bisnis berfungsi untuk menolong pebisnis (dalam hal ini pedagang) untuk memecahkan problem-problem (moral) dalam praktek bisnis mereka. Oleh karena itu, dalam rangka mengembangkan sistem ekonomi Islam khususnya dalam upaya revitalisasi perdagangan Islam sebagai jawaban bagi kegagalan sistem ekonomi –baik kapitalisme maupun sosialisme-, menggali nilai-nilai dasar Islam tentang aturan perdagangan (bisnis) dari al-Qur’an maupun as-Sunnah, merupakan suatu hal yang niscaya untuk dilakukan. Dengan kerangka berpikir demikian, tulisan ini akan mengkaji permasalahan revitalisasi perdagangan Islam, yang akan dikaitkan dengan pengembangan sektor riil.

Bab II Pembahasan Teori

Pengertian Etika Bisnis Dalam Islam

Definisi Etika

Etika itu sendiri merupakan salah satu disiplin pokok dalam filsafat, ia merefleksikan bagaimana manusia harus hidup agar berhasil menjadi sebagai manusia (Franz Magnis-Suseno :1999)

Etika (ethics) yang berasal dari bahasa Yunani ethikos mempunyai beragam arti : petama, sebagai analisis konsep-konsep mengenai apa yang harus, mesti, ugas, aturan-aturan moral, benar, salah, wajib, tanggung jawab dan lain-lain. Kedua, pencairan ke dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan moral. Ketiga, pencairan kehidupan yang baik secara moral (Tim Penulis Rasda Karya : 1995)

Menurut K. Bertens dalam buku Etika, merumuskan pengertian etika kepada tiga pengertian juga; Pertama, etika digunakan dalam pengertian nilai-niai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika dalam pengertian kumpulan asas atau nilai-nilai moral atau kode etik. Ketiga, etika sebagai ilmu tentang baik dan buruk

Menurut Ahmad Amin memberikan batasan bahwa etika atau akhlak adalah ilmu yang menjelaskan arti yang baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia kepada lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.

Definisi Bisnis
Kata bisnis dalam Al-Qur’an yaitu al-tijarah dan dalam bahasa arab tijaraha, berawal dari kata dasar t-j-r, tajara, tajran wa tijarata, yang bermakna berdagang atau berniaga. At-tijaratun walmutjar yaitu perdagangan, perniagaan (menurut kamus al-munawwir).

Menurut ar-Raghib al-Asfahani dalam al-mufradat fi gharib al-Qur’an , at-Tijarah bermakna pengelolaan harta benda untuk mencari keuntungan.

Menurut Ibnu Farabi, yang dikutip ar-Raghib , fulanun tajirun bi kadza, berarti seseorang yang mahir dan cakap yang mengetahui arah dan tujuan yang diupayakan dalam usahanya.

Ayat Bisnis Dalam Al-Qur’an

Al-Baqarah : 282

"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun daripadanya. Jika orang yang berutang itu orang kurang akalnya atau lemah (keadaanya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada saksi dua orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi yang ada, agar jika ada yang seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil. Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk batas waktunya baik utang itu kecil maupun besar. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih dekat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya. Dan ambillah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dipersulit dari begitu juga saksi. Jika kamu lakukan yang demikian, maka sungguh, hal itu suatu kefasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu".

An-Nisaa : 29

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu".

Allah SWT melarang hamba-hamba-Nya yang mukmin memakan harta sesamanya dengan cara yang bathil dan cara mencari keuntungan yang tidak sah dan melanggar syari'at seperti riba, perjudian dan yang serupa dengan itu dari macam-macam tipu daya yang tampak seakan-akan sesuai dengan hukum syari'at tetapi Allah mengetahui bahwa apa yang dilakukan itu hanya suatu tipu muslihat dari sipelaku untuk menghindari ketentuan hokum yang telah digariskan oleh syari'at Allah. Allah mengecualikan dari larangan ini pencaharian harta dengan jalan perdagangan (perniagaan) yang dilakukan atas dasar suka sama suka oleh kedua belah pihak yang bersangkutan.

At-Taubah : 24

"Katakanlah jika Bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasulnya dan dari berjihad di jalan Allah maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusannya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik"

Allah SWT memerintahkan orang-orang mukmin menjauhi orang-orang kafir, walaupun mereka itu bapak-bapak, anak-anak, atau saudara-saudara mereka sendiri, dan melarang untuk berkasih saying kepada mereka yang masih lebih mengutamakan kekafiran mereka daripada beriman.

An-Nur : 37

"Bertasbih dan bertahmidlah Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak pula oleh jual beli dari mengingat Allah dan dari membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (dihari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang"

Allah SWT berfirman menceritakan tentang hamba-hamba-Nya dan memperoleh pancaran nur iman dan takwa di dada mereka, bahwa mereka itu tekun dalam ibadahnya, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan selalu beri'tikaf di dalam masjidbertasbih, bertahmid dan bertahlil. Mereka sekali-kali tidak tergoda dan tidak akan dilalaikan dari ibadah itu, kegiatan yang mereka lakukan untuk mencari nafkah, berusaha dan berdagang (berniaga). Mereka itu benar-benar cakap membagi waktu di antara kewajiban ukhrawi dan kewajiban duniawi, sehingga tidak sedikitpun tergesr amal dan kewajiban ukhrawi mereka oleh usaha duniawi mereka.

Fatir : 29

"Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi"

Allah SWT berfirman tentang hamba-hamba-Nya yang mukmin yang selalu membaca kitab Allah dengan tekunnya, beriman bahwasanya kitab itu adalah wahyu dari sisi-Nya kepada Rasul-Nya dan mengerjakan apa yang terkandung di dalamnya seperti perintah shalat dan menafkahkan sebagian rezeki yang Allah karuniakan kepadanya untuk tujuan-tujuan yang baik yang membawa ridha Allah dan restu-Nya, menafkahkan secara diam-diam tidak diketahui orang lain atau secara terang-terangan, mereka itulah dapat mengharapkan perdagangan (perniagaan) yang tidak akan merugi dan akan disempurnakanlah oleh Allah pahala mereka serta akan ditambah bagi mereka karunia-Nya berlipat ganda. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri amal-amal baik hamba-hamba-Nya yang sekecil-kecilnya pun.

As-Shaff : 10

"Wahai orang-orang yang beriman! Maukah kamu Aku tunjukkan suatu perdagangan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab pedih?"

Al-Jum’ah : 11

"Dan apabila mereka melihat perdagangan atau permainan, mereka segera menuju kepadanya dan mereka tinggallah engkau (Muhammad) sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah , "Apa yang ada di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perdagangan," dan Allah pemberi rezeki yang terbaik".

Kesimpulan

Islam mengatur agar persaingan di pasar dilakukan dengan adil, sehingga seluruh bentuk transaksi yang menimbulkan ketidakadilan dilarang, yaitu:

1. Talaqqi rukban dilarang karena pedagang yang menyongsong di pinggir kota akan memperoleh keuntungan dari ketidaktahuan penjual dari daerah pinggiran atau kampung akan harga yang berlaku di kota. Mencegah masuknya pedagang desa ke kota ini (entry barrier), akan menimbulkan pasar yang tidak kompetitif.

2. Mengurangi timbangan atau sukatan dilarang, karena barang dijual dengan harga yang sama untuk jumlah yang lebih sedikit.

3. Menyembunyikan barang cacat karena penjual mendapatkan harga yang baik untuk kualitas yang buruk.

4. Menukar kurma kering dengan kurma basah dilarang, karena takaran kurma basah ketika kering bisa jadi tidak sama dengan kurma kering yang ditukar tersebut.

5. Menukar satu takaran kurma kualitas bagus dengan dua takar kurma kualitas sedang dilarang, karena setiap kualitas kurma mempunyai harga pasarnya.

6. Transaksi Najasy dilarang, karena si penjual menyuruh orang lain memuji barangnya atau menawar dengan harga tinggi agar orang lain tertarik.

7. Ikhtikar dilarang, karena bermaksud mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi.

8. Ghaban Fahisy dilarang, karena menjual di atas harga pas

Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Perushaan (CSR)

anggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (selanjutnya dalam artikel akan disingkat CSR) adalah suatu konsep bahwa organisasi, khususnya (namun bukan hanya) perusahaan adalah memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan.
CSR berhubungan erat dengan "pembangunan berkelanjutan", di mana ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan faktor keuangan, misalnya keuntungan atau deviden melainkan juga harus berdasarkan konsekuensi sosial dan lingkungan untuk saat ini maupun untuk jangka panjang.
Sejarah singkat
Pengertian CSR sangat beragam. Intinya, CSR adalah operasi bisnis yang berkomitmen tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial, tetapi untuk pembangunan sosial-ekonomi kawasan secara holistik, melembaga, dan berkelanjutan. Beberapa nama lain yang memiliki kemiripan dan bahkan sering diidentikkan dengan CSR adalah corporate giving, corporate philanthropy, corporate community relations, dan community development.
Ditinjau dari motivasinya, keempat nama itu bisa dimaknai sebagai dimensi atau pendekatan CSR. Jika corporate giving bermotif amal atau charity, corporate philanthropy bermotif kemanusiaan dan corporate community relations bernapaskan tebar pesona, community development lebih bernuansa pemberdayaan. Dalam konteks global, istilah CSR mulai digunakan sejak tahun 1970-an dan semakin populer terutama setelah kehadiran buku Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business (1998) karya John Elkington.
Mengembangkan tiga komponen penting sustainable development, yakni economic growth, environmental protection, dan social equity yang digagas the World Commission on Environment and Development (WCED) dalam Brundtland Report (1987), Elkington mengemas CSR ke dalam tiga fokus: 3P (profit, planet, dan people). Perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (profit), tetapi memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people).
Di Indonesia, istilah CSR semakin populer digunakan sejak tahun 1990-an. Beberapa perusahaan sebenarnya telah lama melakukan CSA (corporate social activity) atau aktivitas sosial perusahaan. Walaupun tidak menamainya sebagai CSR, secara faktual aksinya mendekati konsep CSR yang merepresentasikan bentuk “peran serta” dan “kepedulian” perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan.
Melalui konsep investasi sosial perusahaan seat belt, sejak tahun 2003 Departemen Sosial tercatat sebagai lembaga pemerintah yang aktif dalam mengembangkan konsep CSR dan melakukan advokasi kepada berbagai perusahaan nasional. Kepedulian sosial perusahaan terutama didasari alasan bahwasannya kegiatan perusahaan membawa dampak (baik maupun buruk) bagi kondisi lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat, khususnya di sekitar perusahaan beroperasi.
Selain itu, pemilik perusahaan sejatinya bukan hanya shareholders atau para pemegang saham, melainkan pula stakeholders, yakni pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. Stakeholders dapat mencakup karyawan dan keluarganya, pelanggan, pemasok, masyarakat sekitar perusahaan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, media massa, dan pemerintah selaku regulator. Jenis dan prioritas stakeholders relatif berbeda antara satu perusahaan dan lainnya, bergantung pada core bisnis perusahaan yang bersangkutan (Supomo, 2004).
Sebagai contoh, PT Aneka Tambang, Tbk. dan Rio Tinto menempatkan masyarakat dan lingkungan sekitar sebagai stakeholders dalam skala prioritasnya. Sementara itu, stakeholders dalam skala prioritas bagi produk konsumen seperti Unilever atau Procter & Gamble adalah para customer-nya.
Bias-bias CSR
Berdasarkan pengamatan terhadap praktik CSR selama ini, tidak semua perusahaan mampu menjalankan CSR sesuai filosofi dan konsep CSR yang sejati. Tidak sedikit perusahaan yang terjebak oleh bias-bias CSR berikut ini.
Pertama, kamuflase. CSR yang dilakukan perusahaan tidak didasari oleh komitmen genuine, tetapi hanya untuk menutupi praktik bisnis yang memunculkan ethical questions. Bagi perusahaan seperti ini, CD bukan kepanjangan dari community development, melainkan “celana dalam” yang berfungsi menutupi “aurat” perusahaan. McDonald`s Corporation di AS dan pabrik sepatu Nike di Asia dan Afrika pernah tersandung kasus yang berkaitan dengan unnecessary cruelty to animals dan mempekerjakan anak di bawah umur.
Kedua, generik. Program CSR terlalu umum dan kurang fokus karena dikembangkan berdasarkan template atau program CSR yang telah dilakukan pihak lain. Perusahaan yang impulsif dan pelit biasanya malas melakukan inovasi dan cenderung melakukan copy-paste (kadang dengan sedikit modifikasi) terhadap model CSR yang dianggap mudah dan menguntungkan perusahaan.
Ketiga, directive. Kebijakan dan program CSR dirumuskan secara top-down dan hanya berdasarkan misi dan kepentingan perusahaan (shareholders) semata. Program CSR tidak partisipatif sesuai prinsip stakeholders engagement yang benar.
Keempat, lip service. CSR tidak menjadi bagian dari strategi dan kebijakan perusahaan. Biasanya, program CSR tidak didahului oleh needs assessment dan hanya diberikan berdasarkan belas kasihan (karitatif). Laporan tahunan CSR yang dibuat Enron dan British American Tobacco (BAT), misalnya, pernah menjadi sasaran kritik sebagai hanya lip service belaka.
Kelima, kiss and run. Program CSR bersifat ad hoc dan tidak berkelanjutan. Masyarakat diberi “ciuman” berupa barang, pelayanan atau pelatihan, lantas ditinggalkan begitu saja. Program yang dikembangkan umumnya bersifat myopic, berjangka pendek, dan tidak memerhatikan makna pemberdayaan dan investasi sosial. CSR sekadar “menanam jagung”, bukan “menanam jati”.
CSR yang baik
CSR yang baik (good CSR) memadukan empat prinsip good corporate governance, yakni fairness, transparency, accountability, dan responsibility, secara harmonis. Ada perbedaan mendasar di antara keempat prinsip tersebut (Supomo, 2004). Tiga prinsip pertama cenderung bersifat shareholders-driven karena lebih memerhatikan kepentingan pemegang saham perusahaan. Sebagai contoh, fairness bisa berupa perlakuan yang adil terhadap pemegang saham minoritas; transparency menunjuk pada penyajian laporan keuangan yang akurat dan tepat waktu; sedangkan accountability diwujudkan dalam bentuk fungsi dan kewenangan RUPS, komisaris, dan direksi yang harus dipertanggung jawabkan.
Sementara itu, prinsip responsibility lebih mencerminkan stakeholders-driven karena lebih mengutamakan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. Stakeholders perusahaan bisa mencakup karyawan beserta keluarganya, pelanggan, pemasok, komunitas setempat, dan masyarakat luas, termasuk pemerintah selaku regulator. Di sini, perusahaan bukan saja dituntut mampu menciptakan nilai tambah (value added) produk dan jasa bagi stakeholders perusahaan, melainkan pula harus sanggup memelihara kesinambungan nilai tambah yang diciptakannya itu (Supomo, 2004). Namun demikian, prinsip good corporate governance jangan diartikan secara sempit. Artinya, tidak sekadar mengedepankan kredo beneficience (do good principle), melainkan pula nonmaleficience (do no-harm principle) (Nugroho, 2006). Perusahaan yang hanya mengedepankan benificience cenderung merasa telah melakukan CSR dengan baik. Misalnya, karena telah memberikan beasiswa atau sunatan massal gratis. Padahal, tanpa sadar dan pada saat yang sama, perusahaan tersebut telah membuat masyarakat semakin bodoh dan berperilaku konsumtif, umpamanya, dengan iklan dan produknya yang melanggar nonmaleficience.


TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN

Tanggung jawab sosial perusahaan sangat erat kaitannya dengan pertanyaan-pertanyaan berikut:
• Apakah memang perusahaan punya tanggung jawab moral dan sosial ?
• Kalau ada, manakah lingkup tanggung jawab itu ?
• Apakah, terkait dengan tanggung jawab sosial perusahaan itu, perusahaan perlu terlibat dalam kegiatan sosial yang berguna bagi masyarakat atau tidak ?
• Bagaimana tanggung jawab sosial perusahaan itu dapat dioperasionalkan dalam suatu perusahaan ?
1. Syarat bagi Tanggung Jawab Moral
• Tindakan itu dijalankan oleh pribadi yang rasional
• Bebas dari tekanan, ancaman, paksaan atau apapun namanya
• Orang yang melakukan tindakan tertentu memang mau melakukan tindakan itu
2. Status Perusahaan
Terdapat dua pandangan (Richard T. De George, Business Ethics, hlm.153), yaitu:
• Legal-creator, perusahaan sepenuhnya ciptaan hukum, karena itu ada hanya berdasarkan hukum
• Legal-recognition, suatu usaha bebas dan produktif
3. Lingkup Tanggung jawab Sosial
• Keterlibatan perusahaan dalam kegiatan sosial yang berguna bagi kepentingan masyarakat luas
• Keuntungan ekonomis
4. Argumen yang Menentang Perlunya Keterlibatan Sosial Perusahaan
• Tujuan utama Bisnis adalah Mengejar Keuntungan Sebesar-besarnya
• Tujuan yang terbagi-bagi dan Harapan yang membingungkan
• Biaya Keterlibatan Sosial
• Kurangnya Tenaga Terampil di Bidang Kegiatan Sosial
5. Argumen yang Mendukung Perlunya Keterlibatan Sosial Perusahaan
• Kebutuhan dan Harapan Masyarakat yang Semakin Berubah
• Terbatasnya Sumber Daya Alam
• Lingkungan Sosial yang Lebih Baik
• Perimbangan Tanggung Jawab dan Kekuasaan
• Bisnis Mempunyai Sumber Daya yang Berguna
• Keuntungan Jangka Panjang
6. Implementasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
• Prinsip utama dalam suatu organisasi profesional, termasuk perusahaan, adalah bahwa struktur mengikuti strategi
• Artinya, struktur suatu organisasi didasarkan ditentukan oleh strategi dari organisasi atau perusahaan itu
• Strategi yang diwujudkan melalui struktur organisasi demi mencapai tujuan dan misi perusahaan perlu dievaluasi secara periodik, salah satu bentuk evaluasi yang mencakup nilai-nilai dan tanggung jawab sosial perusahaan adalah Audit Sosial.

ETIKA BISNIS PANCASILA

ETIKA BISNIS PANCASILA

I. People of the same trade seldom meet together, even for merriment and diversion, but the conversation ends in a conspiracy against the public or in some contrivance to raise prices. It is impossible indeed to prevent such meeting by any law which either could be executed or would be consistent with liberty and justice. But though th law cannot hinder people of the same trade from sometimes assembling together it ought to do nothing to facilitate such assemblies, much less to render them necessary. (Dikutip dalam Mubyarto, PERPIIS, h. 57)

II. Jika ada pendapat bahwa (ilmu) ekonomi tidak mengajarkan keserakahan sedangkan (ilmu atau praktek) bisnis memang serakah, maka memang yang relevan adalah etika bisnis bukan etika ekonomi atau ekonomi moral. Namun jelas Adam Smith mengajarkan adanya homo ekonomikus atau homo socius atau homo religiousus. Artinya manusia memang mengandung pada dirinya dua sifat yang nampak bertentangan, yaitu sifat-sifat selfish-egois dan sifat-sifat social-symphathetic. Inilah sifat-sifat manusia yang masing-masing digambarkan dalam buku Adam Smith Wealth of Nations (1776) dan The Theory of Moral Sentiments.

III. Pengertian social economics atau economic sociology (Max Weber) adalah cara lain untuk menggambarkan sifat-sifat sosial manusia. Artinya manusia pada dasarnya suka hidup bermasyarakat dan saling membutuhkan yang dalam bahasa Jerman dikenal dalam konsep Gemeinschaft (paguyuban) yang dilawankan dengan konsep Gesellschaft (patembayan). Dalam dunia bisnis Jawa ada istilah “Tuna Satak Bati Sanak” yang artinya orang dapat mentoleransi kerugian uang dengan kompensasi bertambahnya persaudaraan (brotherhood).

IV. Dalam dunia perbankan di Indonesia sejak krisis moneter (krismon) tahun 1997, yang belum kunjung teratasi sampai sekarang, terlihat telah berkembang sistem dan praktek perbankan kapitalistik yang tidak etik karena menekankan pada pengejaran untung sebesar-besarnya. Dalam perbankan etik harus dihilangkan atau dikurangi nafsu mengejar untung tanpa batas, tanpa memperdulikan kepentingan pihak lain. Perbankan etik di Indonesia harus menuju pada upaya-upaya mengurangi kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Perbankan Syariah adalah perbankan yang demikian yang dewasa ini mulai digalakkan.

V. The outstanding faults of the economic society in which we live are its failure to provide for full employment and its arbitrary and equitable distribution of welath and income… I believe that there is social and psychological justification for significant inequalities of income and wealth but not for such large disparities as exist today (JM Keynes, 1936).

Meskipun pernah diantara kita menolak tuduhan Indonesia telah melaksanakan sistem ekonomi Kapitalisme yang cacatnya disebutkan Keynes di atas, tetapi sekarang lebih banyak orang terang-terangan menerima sistem ekonomi tersebut karena dianggap “tak terelakkan” dan karena sejak 1991 jelas kapitalisme telah terbukti memenangkan persaingan dengan sosialisme.

VI. I shall argue that these perceptions are justified, that current capitalism is indeed morally deficient. This book is absolut whether, without abandoning capitalism, these serious deficiencies can be overcome (DW Hasslet, Capitalism with Morality, 1994).

Kapitalisme yang “bermoral” adalah yang kaum buruh (dan petani untuk Indonesia) ikut serta aktif dalam “manajemen produksi”, yang serius mengembangkan program-program penanggulangan kemiskinan, dan jelas-jelas berusaha meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasil pembangunan.

It is not capitalism per se that is immoral, but current capitalism. Capitalism with morality is possible… a capitalism without extreme inequalities of wealth and opportunity, a capitalism without alienated workers, a capital with morality. (Hasslet, h. 264).

VII. Jika Indonesia pernah menyambut baik sistem sosialisme religius yaitu sistem sosialisme yang aturan-aturan mainnya banyak mengacu pada ajaran-ajaran agama, maka di pihak lain ada yang menganggap lebih tepat menerapkan sistem Kapitalisme Pancasila. Pada hemat kami Pancasila berhak menjadi ideologi, pegangan yang secara penuh menggariskan aturan main, kebijakan dan program-program pembangunan nasional baik dalam bidang ekonomi maupun sosial.

VIII. Etika Bisnis Indonesia yang dapat kita sebut Etika Bisnis Pancasila mengacu pada setiap sila atau perasan-perasannya. Menurut Bung Karno, pada pidato kelahiran Pancasila 1 Juni 1945, Pancasila dapat diperas menjadi Sila Tunggal, yaitu Gotong Royong, atau Tri Sila sbb:
1. Socio-nasionalisme (Kebangsaan dan Peri Kemanusiaan)
2.
Socio-demokrasi
(Demokrasi/ Kerakyatan, dan Kesejahteraan Sosial); dan
3. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa

Syarat mutlak dapat diwujudkannya Etika Bisnis Pancasila adalah mengakui terlebih dahulu Pancasila sebagai ideologi bangsa, sehingga asas-asasnya dapat menjadi pedoman perilaku setiap individu dalam kehidupan ekonomi dan bisnis sehari-hari. Baru sesudah asas-asas Pancasila benar-benar dijadikan pedoman etika bisnis, maka praktek-praktek bisnis dapat dinilai sejalan atau tidak dengan pedoman moral sistem Ekonomi Pancasila.